Welcome to Desya's Blogger
Woensdag 14 Maart 2018
Janin 5 minggu keguguran
Hamil 9 minggu mengalami pendarahan. Waktu di usg, dokter bilang usia kandungan 5 minggu. Dokter menjelaskan bahwa janin yang saya kandung tidak berkembang. Dokter memberi saya obat penguat. Sebelum tidur saya minum obat penguat dari dokter, besoknya tepat 3 sore saya keguguran..
Info untuk para calon ibu, jika sudah tau hamil, langsung di usg supaya tahu perkembangan janinnya, jangan tunggu pendarahan baru di usg. Sungguh saya menyesal karna saat tau hamil tidak di usg sehingga telat penanganan yang berakhir keguguran..
Maandag 28 April 2014
5 gambar sosialisasi dan enkulturasi+komentar
TUGAS 2 , TUGAS PORTOFOLIO (5 gambar sosialisasi dan
enkulturasi+komentar)
Komentar :
Ini menunjukkan adanya enkulturasi di Lingkungan sekolah. Dimana siswa kelas 3 memiliki kebiasaan/kebudayaan melakukan dokumentasi bersama guru-gurunya menjelang kelulusan.
Komentar :
Memiliki berbudaya mengaji adalah salah satu tindakan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat guna menjalin tali persudaraan/silahturahmi antar umat beragama Islam
Komentar :
Mengadakan meeting bersama pimpinan juga salah satu terjalinnya hubungan sosialisasi di lingkungan kerja guna menjalin kerjasama yang baik untuk meningkatkan kinerja mereka.
Komentar :
Masa Orientasi Siswa selalu diadakan oleh semua sekolah setiap penerimaan siswa/siswi baru. Di adakannya MOS ini agar siswa/siswi dapat bersosialisasi/menjalin suatu interaksi atau komunikasi dengan baik kepada teman barunya juga guru-guru di sekolah barunya.
Komentar :
Mengadakan perpisahan bagi seluruh siswa adalah sesuatu yang menyenangkan karena dapat menikmati liburan terakhir bersama teman-teman sekolahnya. Pelaksanaan perpisahan Tour ini merupakan kebudayaan/kebiasaan yang diadakan oleh sekolah tiap tahunnya. Ini menunjukkan adanya enkulturasi di Lingkungan sekolah.
Mengadakan perpisahan bagi seluruh siswa adalah sesuatu yang menyenangkan karena dapat menikmati liburan terakhir bersama teman-teman sekolahnya. Pelaksanaan perpisahan Tour ini merupakan kebudayaan/kebiasaan yang diadakan oleh sekolah tiap tahunnya. Ini menunjukkan adanya enkulturasi di Lingkungan sekolah.
Komentar :
Ini menunjukkan adanya enkulturasi di Lingkungan sekolah. Dimana siswa kelas 3 memiliki kebiasaan/kebudayaan melakukan dokumentasi bersama guru-gurunya menjelang kelulusan.
Komentar :
Memiliki berbudaya mengaji adalah salah satu tindakan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat guna menjalin tali persudaraan/silahturahmi antar umat beragama Islam
Komentar :
Mengadakan meeting bersama pimpinan juga salah satu terjalinnya hubungan sosialisasi di lingkungan kerja guna menjalin kerjasama yang baik untuk meningkatkan kinerja mereka.
Komentar :
Masa Orientasi Siswa selalu diadakan oleh semua sekolah setiap penerimaan siswa/siswi baru. Di adakannya MOS ini agar siswa/siswi dapat bersosialisasi/menjalin suatu interaksi atau komunikasi dengan baik kepada teman barunya juga guru-guru di sekolah barunya.
Saterdag 26 April 2014
NASKAH DRAMA TEATER KOMEDI: PERGAULAN GADO-GADO
Hai guys.. ketemu lagi nih sama saya si admin yang paling kece :D . Kali ini saya akan barbagi karya dari seseorang yang sangat berjasa bagi saya yaitu Naskah Dialog Drama Komedi dengan Tema Kartini dan Pendidikan yang banyak sekali pesan dan amanat didalamnya...
okay Guys semoga bermanfaat ya :)
________________________________________________________________________________________________________
Teater 15pas mempersembahkan: Pergaulan Gado-gado
Komedi satu babak: PERGAULAN
GADO-GADO
Para Pemain:
Isteri : ___________________________________________________
Suami : ___________________________________________________
Orang 1 : ___________________________________________________
Orang 2 : ___________________________________________________
Orang 3 : ___________________________________________________
Orang 4 : ___________________________________________________
Orang 5 : ___________________________________________________
Orang 6 : ___________________________________________________
Kartimun : ___________________________________________________
Petugas : ___________________________________________________
Isteri : ___________________________________________________
Suami : ___________________________________________________
Orang 1 : ___________________________________________________
Orang 2 : ___________________________________________________
Orang 3 : ___________________________________________________
Orang 4 : ___________________________________________________
Orang 5 : ___________________________________________________
Orang 6 : ___________________________________________________
Kartimun : ___________________________________________________
Petugas : ___________________________________________________
Adegan 1
Mc memanggi. Seluruh pemain masuk (diiringi musik) selanjutnya ambil posisi duduk sebagian di kiri dan sebagian di kanan, sebagian berdiri.
Mc memanggi. Seluruh pemain masuk (diiringi musik) selanjutnya ambil posisi duduk sebagian di kiri dan sebagian di kanan, sebagian berdiri.
Isteri : He Penonton!
Buah pinang kulit serabut/ manis-manis kue bidara/ duduk tenang jangan ribut/
orang sukses mau bicara…. Saya sama bapak anak-anak ini keluarga sukses. Nama saya
Titin Kartini, ini suami saya Bejo. Disingkat jadi TeKaBe. Kayak nama partai!
orang sukses mau bicara…. Saya sama bapak anak-anak ini keluarga sukses. Nama saya
Titin Kartini, ini suami saya Bejo. Disingkat jadi TeKaBe. Kayak nama partai!
Suami : Partai itu PeKaBe!
Isteri : Anak saya namanya Kartimun. Anak saya
cantiknya luar biasa. Ya Pak yah? Duh tuh anak luar
biasa. Sering juara. di kelas peringkatnya nomor sepatu. Pada saat teman-teman belum pada
datang, juga paling cantik di kelas. Saking cantiknya, banyak yang ngejar-ngejar: anak-anak
cowo, bahkan gurunya. Eh, orang kantin juga ngejar-ngejar sampe ke rumah! Heh tuh anak
mujur bener nasibnya. Iya kan pak?
biasa. Sering juara. di kelas peringkatnya nomor sepatu. Pada saat teman-teman belum pada
datang, juga paling cantik di kelas. Saking cantiknya, banyak yang ngejar-ngejar: anak-anak
cowo, bahkan gurunya. Eh, orang kantin juga ngejar-ngejar sampe ke rumah! Heh tuh anak
mujur bener nasibnya. Iya kan pak?
Suami : Iyah…
Isteri : Kata guru olahraganya, Pak Lasiran, anak saya
juara untuk bidang lompat pagar. Setiap hari ga
pernah alpa, sekolah terus. Minggu kegiatannya ekskul, ekskul musik: Piano. Kemana-mana
juga dia suka bawa piano. Tanggal merah dia sekolah terus. Si Kartimun, walaupun ga diberi
uang jajan tetep bias jajan. Soal cari duit tuh anak pinter banget. Padahal ga bawa duit, masuk
pasar eh pulang bawa sayuran. Yah pak yah!
pernah alpa, sekolah terus. Minggu kegiatannya ekskul, ekskul musik: Piano. Kemana-mana
juga dia suka bawa piano. Tanggal merah dia sekolah terus. Si Kartimun, walaupun ga diberi
uang jajan tetep bias jajan. Soal cari duit tuh anak pinter banget. Padahal ga bawa duit, masuk
pasar eh pulang bawa sayuran. Yah pak yah!
Isteri : (kesal) Begini yah Bu. Hari ini kita mau
makan apa yah?
Isteri : Cita-citanya… cita-citanya apa pak?
Suami : (sinis) pilot
Isteri : Iya pilot. Disekitar sini kan belum ada orang
yang cita-citanya pilot. Emang sih teman-temannya
bercita-cita pengan jadi pemulung. Pemulung itu bukan cita-cita, nasib…
bercita-cita pengan jadi pemulung. Pemulung itu bukan cita-cita, nasib…
Suami : Bu, pelan-pelan. Bapak juga pemulung.
Isteri : walaupun pemulung tapi kan bapak bukan
pemulung biasa. Kalau bapak kan spesialis pemulung
sandal di masjid.
sandal di masjid.
________________________________________________________________________________________________________
Teater 15pas mempersembahkan: Pergaulan Gado-gado
Orang 1,2,3 :
(masuk) Kartimun….. Kartimun…….. Kartimun. (Nyanyi) Kartimun, kangkung kacang kol 2x
Terong-terong !
Hejahe-jahe, Kartimun, Cabe, Kangkung toge… 3x
Bapak-Ibu, apakah Kartimun ada dirumah? Kami ingin ngajak belajar bersama
Terong-terong !
Hejahe-jahe, Kartimun, Cabe, Kangkung toge… 3x
Bapak-Ibu, apakah Kartimun ada dirumah? Kami ingin ngajak belajar bersama
Isteri : Kartimun, anakku cantik luar biasa, tidak ada
dirumah. Dia sedang menuntut ilmu, guna
mencapai cita-cita masa depan agar brguna bagi nusa, bangsa, dan agama. (Nyanyi) Indonesia
tanah airku! Merah darahku! Merah punggungku, merah bibirku…..
mencapai cita-cita masa depan agar brguna bagi nusa, bangsa, dan agama. (Nyanyi) Indonesia
tanah airku! Merah darahku! Merah punggungku, merah bibirku…..
Suami : Bu bukan begitu. (Nyanyi) Indonesia tanah air beta…..
Isteri : Cukup, pak.
Orang 1,2,3 :
Tapi, bu, sekolah kan diliburkan. Guru-gurunya rapat. Bener bu!
Isteri : Ahhh kalian ini. Bo-ing banget. Hari gini
sekolah gurunya rapat, gak mungkiiiiiiin.
Orang 1,2,3 : Begini
loh Bu, Kartimun dalam beberapa hari ini tidak masuk sekolah. Biar tidak
tertinggal
pelajaran, kami mau mengajaknya belajar bersama.
pelajaran, kami mau mengajaknya belajar bersama.
Suami : Bu…
Isteri : Ahhh, pergi-pergi kalian. Tadi anakku
berangkat kok. Kami juga mau ke arisan! Ayo Pak!
Out
Adegan 2
Orang 4, 5 dan 6
adalah para siswa yang selain rajin sekolah juga rajin usaha, ada yang jual
Koran ada pula yang jualan makanan. Masing-masing membawa dagangannya. Di suatu
tempat…
Orang 4 : Moy, nanti lulus SMA kamu mau kuliah ke
mana?
Orang 5 : Mau masuk ke UNTER
Orang 6 : UNTAR kali…
Orang 5 : UNTER Universitas Terkenal
Orang 4 : Aku mau masuk UGD, Universitas Gawat
Darurat. Kamu mau kemana?
Orang 6 : Aku mau masuk fakultas kedodoran, eh
kedokteran gigi. Spesialis gigi taring.
Orang 5 : (memandang ke satu arah) Eh, ada teman kita
tuh, malu, ngumpet yuk …..
Orang 4 : Jangan
_______________________________________________________________________________
Teater 15pas mempersembahkan: Pergaulan Gado-gado
Orang 6 : Gak usah malu. Kita kan jualan untuk biaya
sekolah.
Orang 4 : Kita kann tidak melakukan kesalahan.
Orang 5 : Yasudah. Kamu yang hadapi duluan.
Orang 1,2,3 : (masuk)
Hai Kawan-kawan…. Ngapain kalian disini?
Orang 4,5,6 : Jualan
dong
Orang 1,2,3 : Bagus…..
Bagaimana laku dagangannya?
Orang 4,5,6 :
Alhamdulillah…
Orang 1,2,3 : Kalian
lihat Kartimun gak?
Orang 4,5,6 : Nggak
tuh?
Orang 4 : (mengingat) Tapi… Ah… Mudah-mudahan bukan
Orang 1 : Maksudmu?
Orang 4 : (ragu) Cuma mirip kali… Aku melihat orang
mirip Kartimun digandeng cowok, jalan, lalu naik
taksi kearah kota. Tapi mudah-mudahan bukan Kartimun.
taksi kearah kota. Tapi mudah-mudahan bukan Kartimun.
Orang 5 : Aku juga pernah lihat dia turun dari sedan,
dandanannya menor.
Orang 5,6 : Memangnya
ada apa sih?
Orang 3 : Kita cuma khawatir kalau Kartimun…..
Orang 2 : Terlibat pergaulan gado-gado…..
Orang 4 : Siapa yang jadi kacangnya?
Orang 3 : Eh! Kalian dagangnya sudah selesai?
Orang 6 : emang mau
beli?
Orang 2 : Iya, aku mau beli.
Orang 4,5,6 : Habis…………….
Alhamdu…..
Koor : ……lillah……..
_______________________________________________________________________________
Teater 15pas mempersembahkan: Pergaulan Gado-gado
Adegan 3
Isteri : (mengamuk, menarik kuping anaknya sambil
mengomel) Kartimun……. Kamu kemana saja
selama ini hah? Kemana?
Ini anakmu pak. Ini anakmu. Bukan anakku , bukan… bukan…
selama ini hah? Kemana?
Ini anakmu pak. Ini anakmu. Bukan anakku , bukan… bukan…
Suami : Ini anak kita Bu, anak kita…
Isteri : Tidak!
Suami : Anak kita.
Isteri : Dasar Bapak sih. Bagaimana sih jadi bapak,
tidak becus mendidik anak!
Suami : Anakku, memangnya kemana saja kamu selama
ini?
Kartimun : Sekolah.
Suami : Sekolah dimana?
Krtimun : Dimana-mana. Di warnet, d mall, di….. ya dimana
saja-lah…
Suami : Astagfirullah
Kartimun : (Bingung) Memang kenapa bu?
Isteri : Ini kamu tidak lulus…… Apa kata Dunia…..Anak
keluarga sukses tidak lulus!
Petugas : (Masuk)
Saya Polisi. Anak ibu saya tangkap.
Suami-isteri : (Terkejut) Memangnya kenapa?
Petugas : Anak
Bapak-ibu diketahui sebagai pengedar obat-obat terlarang
KARTIMUN DITANGKAP, IBU-BAPAKNYA MERADANG.
EPILOG:
Kartimun, anak yang di bangga-banggakan ibu-bapaknya itu gagal memperoleh ijazah. Dia tidak lulus. Gaya hidupnya yang glamour, suka keluyuran dan seing meninggalkan sekolah menjadi penyebabnya. Selain itu kebiasaan buruk dan keterlibatannya dengan pengedaran barang haram mengantarkannya ke pintu penjara. Sementara itu teman-temannya sekolahnya yang rajin belajar dan berusaha tengah sibuk mempersiapkan diri untuk pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi demi menggapai cita-cita bagi masa depan yang gemilang.
Kartimun, anak yang di bangga-banggakan ibu-bapaknya itu gagal memperoleh ijazah. Dia tidak lulus. Gaya hidupnya yang glamour, suka keluyuran dan seing meninggalkan sekolah menjadi penyebabnya. Selain itu kebiasaan buruk dan keterlibatannya dengan pengedaran barang haram mengantarkannya ke pintu penjara. Sementara itu teman-temannya sekolahnya yang rajin belajar dan berusaha tengah sibuk mempersiapkan diri untuk pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi demi menggapai cita-cita bagi masa depan yang gemilang.
______________________________________________________________________________
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nah ini lah dialog komedi dari ekskul Teater kami (SMAN15 Tangerang) dengan sang Penulis dialog Pak Usman (Guru B.Indonesia) sekaligus sebagai Pembina Ekskul Teater kami
Donderdag 24 April 2014
KUMPULAN BEBERAPA ARTIKEL TENTANG "SOSIALISASI & ENKULTURASI"
ini adalah berbagai artikel mengenai sosialisasi dan enkulturasi. artikel ini saya dapatkan dari blog sebelah dan beberapa sumber.. okay semoga bermanfaat :)
__________________________________________________________________________________
Keterampilan
bersosialisasi mesti diasah lewat contoh orang tua yang pandai
gaul. Tipe seperti apa pun anak usia 3 – 5 tahun Anda, ada baiknya Anda
memberi ‘modal’, khususnya bagi yang akan masuk TK. Apa saja itu?
1. Hangat dan penuh cinta. Cara anak berinteraksi dengan lingkungan sekitar sangat bergantung pada pengaruh pola asuh dan hubungannya dengan ibu dan dan ayahnya. Hubungan hangat dapat diperkuat antara lain lewat berbagai aktivitas bersama dan tentu saja bermain. Berdasarkan penelitian, anak-anak yang sering bermain dengan orang tuanya terampil bergaul dengan teman-teman seusianya.
Orang tua yang hangat dan terampil bersosialisasi juga memiliki anak-anak yang suka tertawa dan mudah tersenyum. Sebagai orang tua, sebaiknya Anda menghindari sikap suka mengritik selama anak bermain, dan bersikaplah responsif terhadap gagasan yang diajukannya.
2. Petunjuk praktis. Sebagai pemula, anak-anak butuh arahan Anda tentang cara memulai pertemanan. Beri petunjuk praktis tentang cara menyapa orang lain, memberi respon positif terhadap sapaan teman dan cara berinteraksi dalam kegiatan bermain bersama. Cara termudah, tentu saja, dengan memberi contoh.
Di usia berapa pun, ada baiknya Anda paparkan contoh tata krama dan perilaku yang mendukung kegiatan bersosialiasi dengan orang-orang di sekitarnya. Salah satu keterampilan sosial yang juga penting diajarkan adalah cara memecahkan masalah, misalnya dengan bernegosiasi, dan berkompromi.
3. Biasakan bergaul. Ada baiknya sejak dini Anda mengagendakan kesempatan bagi si kecil bersosialisasi. Dengan demikian bersosialisasi tak lagi barang baru bagi anak sehingga membuatnya takut.
Biasanya untuk batita (0 – 3 tahun) cukuplah dengan teman seusia di sekitar lingkungan rumah atau sepupunya. Di usia balita (3 – 5 tahun), tak ada salahnya Anda rutin mengajaknya bermain bersama anak sahabat Anda di rumah atau di rumah sahabat, misalnya dengan merancang semacam play date.
Bisa juga Anda jadwalkan membawa anak di hari tertentu ke playground atau bermain dengan anak seusianya di sekitar rumah. Berbagai pengalaman positif berinteraksi dengan anak-anak seusianya mendorong anak bersosialisasi semakin sering
4. Mengundang teman. Maksimalkan interaksi positif anak dan teman-temannya saat bermain bersama di rumah, antara lain dengan menyediakan beragam material dan kegiatan. Apabila anak memiliki gagasan baru dan materialnya belum tersedia, Anda dapat membelinya terlebih dulu.
Ajak anak menyusun kegiatan yang dapat dilakukan bersama teman yang akan diundang. Buatlah daftar mainan dan material yang tersedia lalu susunlah kegiatan yang mungkin lakukan si balita bersama temannya
Sebagai langkah awal, rancanglah kegiatan bermain yang singkat saja. Meski pengalaman pertama bermain bersama teman di rumah menyenangkan, tetap saja balita punya ketahanan terbatas. Selain karena bosan, anak-anak biasanya juga tak akan tahan bermain lebih dari 1 jam nonstop. Ia butuh jeda untuk istirahat, makan, minum bahkan tidur di sore hari.
1. Charlotte Buhler
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
2. Peter Berger
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
3. Paul B. Horton
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
4. Soerjono Soekanto
Sosialisasi adalah proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat yang baru.
Sosialisasi dapat terjadi melalui interaksi social secara langsung ataupun tidak langsung. Proses sosialisasi dapat berlangsung melalui kelompok social, seperti keluarga, teman sepermainan dan sekolah, lingkungan kerja, maupun media massa. Adapun media yang dapat menjadi ajang sosialisasi adalah keluarga, sekolah, teman bermain media massa dan lingkungan kerja
Pemuda adalah golongan manusia-manusia muda yang masih memerlukan pembinaan dan pengembangan kearah yang lebih baik, agar dapat melanjutkan dan mengisi pembangunan yang kini telah berlangsung, pemuda di Indonesia dewasa ini sangat beraneka ragam, terutama bila dikaitkan dengan kesempatan pendidikan. Keragaman tersebut pada dasarnya tidak mengakibatkan perbedaan dalam pembinaan dan pengembangan generasi muda.
Proses kehidupan yang dialami oleh para pemuda Indonesia tiap hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat membawa pengauh yang besar pula dalam membina sikap untuk dapat hidup di masyarakat. Proses demikian itu bisa disebut dengan istilah sosialisasi, proses sosialisasi.
Pemuda dalam pengertian aalah manusia-manusia muda, akan tetapi di Indonesia ini sehubungan dengan adanya program pembinaan generasi muda pengertian pemuda diperinci dan tersurat dengan pasti. Ditinjau dari kelompok umur, maka pemuda Indonesia adalah sebagai berikut :
Masa bayi : 0 – 1 tahun
Masa anak : 1 – 12 tahun
Masa Puber : 12 – 15 tahun
Masa Pemuda : 15 – 21 tahun
Masa dewasa : 21 tahun keatas
Diliaht dari segi budaya atau fungsionalya maka dikenal istilah anak, remaja dan dewasa, dengan perincian sebagia berikut :
Golongan anak : 0 – 12 tahun
Golongan remaja : 13 – 18 tahun
Golongan dewasa : 18 (21) tahun keatas
Usia 0-18 tahun adalah merupakan sumber daya manusia muda, 16 – 21 tahun keatas dipandang telah memiliki kematangan pribadi dan 18(21) tahun adalah usia yang telah diperbolehkan untuk menjadi pegawai baik pemerintah maupun swasta
Dilihat dari segi ideologis politis, generasi muda adalah mereka yang berusia 18 – 30 – 40 tahun, karena merupakan calon pengganti generasi terdahulu.
A. Pemuda Radikal
Pemuda radikal adalah Mereka yang berkeinginan besar untuk mengubah masyarakat dan kebudayaan lewat cara-cara radikal, revolusioner. Mereka tidak berniat mengadakan perubahan, baik budaya maupun pada masyarakat, tetapi hanya berusaha memperoleh manfaat dari masyarakat dengan melakukan tindakan menguntungkan bagi dirinya sendiri, sekalipun dalam kenyataannya merugikan.
Kedudukan pemuda dalam masyarakat adalah sebagai mahluk moral, mahluk sosial. Artinya beretika, bersusila, dijadikan sebagai barometer moral kehidupan bangsa dan pengoreksi. Sebagai mahluk sosial artinya pemuda tidak dapat berdiri sendiri, hidup bersama-sama, dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma, kepribadian, dan pandangan hidup yagn dianut masyarakat. Sebagai makhluk individual artinya tidak melakukan kebebasan sebebas-bebasnya, tetapi disertai ras tanggung jawab terhadap diri sendiri,terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan Yang maha Esa.
B. Pemuda Nakal
Pemuda dalam masyarakat adalah sebagai mahluk moral, mahluk sosial. Artinya beretika, bersusila, dijadikan sebagai barometer moral kehidupan bangsa dan pengoreksi.
Namun Sebagai mahluk sosial ada saja suatu kesalahan yang membuat pemuda terjerumus ke arah yang tidak baik sehingga pemuda di cap buruk oleh masyarakat. Sebagai makhluk individual pemuda tidak seharusnya melakukan tindakan sesuka hati namun harus berpikir panjang dan tahu apa konsekuensinya yang akan dihadapinya nanti.
Dengan proses sosialisasi,seorang pemuda menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya.
__________________________________________________________________________________
Sosialisasi gempabumi anak-anak
Sosialisai pada anak-anak tentang gempa bumi
dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan yang sederhana tentang
berbagai macam bentuk bencana alam. Ini penting agar anak tidak
mendapatkan informasi yang salah sehingga mereka tidak panic. Langkah-langkah antisipasi yang ditempuh antara lain:
Buatlah rencana keluarga saat menghadapi bencana, termasuk di dalamnya bagaimana menghadapi gempa bumi. Buatlah perencanaan khusus mengenai gempa bumi. Pelajari kasus-kasus gempa bumi yang terjadi di sekitar kita. Hubungi Badan Meteorologi dan Geofisika, kantor Palang Merah Indonesia, dan pihak-pihak terkait , untuk menanyakan kasus yang berhubungan dengan gempa bumi.
Perlu melakukan latihan menghadapi gempa bumi. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi rasa takut saat terjadi gempa, sehingga terhindar dari kecelakaan yang fatal.
Tentukan dan jelaskan pada anak-anak tempat yang aman baik di rumah / di sekolah. Begitu pula tempat aman di dalam dan di luar bangunan, dan berikan pemahaman pada anak bahwa tempat tersebut dapat dipakai untuk berlindung saat terjadi gempa bumi.
Sampaikan pada anak bila terjadi gempa bumi, sementara ia berada di dalam rumah/ ruang kelas, maka yang harus pertama kali dilakukan adalah bersikap tenang, lalu mencari bagian/ ruang yang aman sehingga tidak tertimpa perabot rumah tanggaseperti lemari, dan mencari meja yang kokoh untuk berlindung di bawahnya hingga keadaan menjadi tenang. Bila keadaan sudah tenang, barulah dapat keluar ruangan setelah mendapatkan sosialisasi gempa bumi bagi anak-anak.
Buatlah rencana keluarga saat menghadapi bencana, termasuk di dalamnya bagaimana menghadapi gempa bumi. Buatlah perencanaan khusus mengenai gempa bumi. Pelajari kasus-kasus gempa bumi yang terjadi di sekitar kita. Hubungi Badan Meteorologi dan Geofisika, kantor Palang Merah Indonesia, dan pihak-pihak terkait , untuk menanyakan kasus yang berhubungan dengan gempa bumi.
Perlu melakukan latihan menghadapi gempa bumi. Kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi rasa takut saat terjadi gempa, sehingga terhindar dari kecelakaan yang fatal.
Tentukan dan jelaskan pada anak-anak tempat yang aman baik di rumah / di sekolah. Begitu pula tempat aman di dalam dan di luar bangunan, dan berikan pemahaman pada anak bahwa tempat tersebut dapat dipakai untuk berlindung saat terjadi gempa bumi.
Sampaikan pada anak bila terjadi gempa bumi, sementara ia berada di dalam rumah/ ruang kelas, maka yang harus pertama kali dilakukan adalah bersikap tenang, lalu mencari bagian/ ruang yang aman sehingga tidak tertimpa perabot rumah tanggaseperti lemari, dan mencari meja yang kokoh untuk berlindung di bawahnya hingga keadaan menjadi tenang. Bila keadaan sudah tenang, barulah dapat keluar ruangan setelah mendapatkan sosialisasi gempa bumi bagi anak-anak.
Label:
bumi anak-anak,
menghadapi bencana,
menghadapi gempa bumi,
sosialisai pada anak-anak tentang gempa bumi,
sosialisasi gempa,
sosialisasi gempa bumi bagi anak-anak
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
4 Kiat Mengasah Sosialisasi Anak
Image by : Dokumentasi Ayahbunda
1. Hangat dan penuh cinta. Cara anak berinteraksi dengan lingkungan sekitar sangat bergantung pada pengaruh pola asuh dan hubungannya dengan ibu dan dan ayahnya. Hubungan hangat dapat diperkuat antara lain lewat berbagai aktivitas bersama dan tentu saja bermain. Berdasarkan penelitian, anak-anak yang sering bermain dengan orang tuanya terampil bergaul dengan teman-teman seusianya.
Orang tua yang hangat dan terampil bersosialisasi juga memiliki anak-anak yang suka tertawa dan mudah tersenyum. Sebagai orang tua, sebaiknya Anda menghindari sikap suka mengritik selama anak bermain, dan bersikaplah responsif terhadap gagasan yang diajukannya.
2. Petunjuk praktis. Sebagai pemula, anak-anak butuh arahan Anda tentang cara memulai pertemanan. Beri petunjuk praktis tentang cara menyapa orang lain, memberi respon positif terhadap sapaan teman dan cara berinteraksi dalam kegiatan bermain bersama. Cara termudah, tentu saja, dengan memberi contoh.
Di usia berapa pun, ada baiknya Anda paparkan contoh tata krama dan perilaku yang mendukung kegiatan bersosialiasi dengan orang-orang di sekitarnya. Salah satu keterampilan sosial yang juga penting diajarkan adalah cara memecahkan masalah, misalnya dengan bernegosiasi, dan berkompromi.
3. Biasakan bergaul. Ada baiknya sejak dini Anda mengagendakan kesempatan bagi si kecil bersosialisasi. Dengan demikian bersosialisasi tak lagi barang baru bagi anak sehingga membuatnya takut.
Biasanya untuk batita (0 – 3 tahun) cukuplah dengan teman seusia di sekitar lingkungan rumah atau sepupunya. Di usia balita (3 – 5 tahun), tak ada salahnya Anda rutin mengajaknya bermain bersama anak sahabat Anda di rumah atau di rumah sahabat, misalnya dengan merancang semacam play date.
Bisa juga Anda jadwalkan membawa anak di hari tertentu ke playground atau bermain dengan anak seusianya di sekitar rumah. Berbagai pengalaman positif berinteraksi dengan anak-anak seusianya mendorong anak bersosialisasi semakin sering
4. Mengundang teman. Maksimalkan interaksi positif anak dan teman-temannya saat bermain bersama di rumah, antara lain dengan menyediakan beragam material dan kegiatan. Apabila anak memiliki gagasan baru dan materialnya belum tersedia, Anda dapat membelinya terlebih dulu.
Ajak anak menyusun kegiatan yang dapat dilakukan bersama teman yang akan diundang. Buatlah daftar mainan dan material yang tersedia lalu susunlah kegiatan yang mungkin lakukan si balita bersama temannya
Sebagai langkah awal, rancanglah kegiatan bermain yang singkat saja. Meski pengalaman pertama bermain bersama teman di rumah menyenangkan, tetap saja balita punya ketahanan terbatas. Selain karena bosan, anak-anak biasanya juga tak akan tahan bermain lebih dari 1 jam nonstop. Ia butuh jeda untuk istirahat, makan, minum bahkan tidur di sore hari.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PEMUDA DAN SOSIALISASI
Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses seumur hidup bagaimana seorang individu mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang meliputi cara-cara hidup, nilai-nilai, dan norma-norma social yang terdapat dalam masyarakat agar dapat diterima oleh masyarakatnya. Berikut pengertian sosialisasi menurut para ahli1. Charlotte Buhler
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu-individu belajar dan menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup, dan berpikir kelompoknya agar ia dapat berperan dan berfungsi dengan kelompoknya.
2. Peter Berger
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
3. Paul B. Horton
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati serta memahami norma-norma dalam masyarakat tempat tinggalnya sehingga akan membentuk kepribadiannya.
4. Soerjono Soekanto
Sosialisasi adalah proses mengkomunikasikan kebudayaan kepada warga masyarakat yang baru.
Sosialisasi dapat terjadi melalui interaksi social secara langsung ataupun tidak langsung. Proses sosialisasi dapat berlangsung melalui kelompok social, seperti keluarga, teman sepermainan dan sekolah, lingkungan kerja, maupun media massa. Adapun media yang dapat menjadi ajang sosialisasi adalah keluarga, sekolah, teman bermain media massa dan lingkungan kerja
Pemuda adalah golongan manusia-manusia muda yang masih memerlukan pembinaan dan pengembangan kearah yang lebih baik, agar dapat melanjutkan dan mengisi pembangunan yang kini telah berlangsung, pemuda di Indonesia dewasa ini sangat beraneka ragam, terutama bila dikaitkan dengan kesempatan pendidikan. Keragaman tersebut pada dasarnya tidak mengakibatkan perbedaan dalam pembinaan dan pengembangan generasi muda.
Proses kehidupan yang dialami oleh para pemuda Indonesia tiap hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat membawa pengauh yang besar pula dalam membina sikap untuk dapat hidup di masyarakat. Proses demikian itu bisa disebut dengan istilah sosialisasi, proses sosialisasi.
Pemuda dalam pengertian aalah manusia-manusia muda, akan tetapi di Indonesia ini sehubungan dengan adanya program pembinaan generasi muda pengertian pemuda diperinci dan tersurat dengan pasti. Ditinjau dari kelompok umur, maka pemuda Indonesia adalah sebagai berikut :
Masa bayi : 0 – 1 tahun
Masa anak : 1 – 12 tahun
Masa Puber : 12 – 15 tahun
Masa Pemuda : 15 – 21 tahun
Masa dewasa : 21 tahun keatas
Diliaht dari segi budaya atau fungsionalya maka dikenal istilah anak, remaja dan dewasa, dengan perincian sebagia berikut :
Golongan anak : 0 – 12 tahun
Golongan remaja : 13 – 18 tahun
Golongan dewasa : 18 (21) tahun keatas
Usia 0-18 tahun adalah merupakan sumber daya manusia muda, 16 – 21 tahun keatas dipandang telah memiliki kematangan pribadi dan 18(21) tahun adalah usia yang telah diperbolehkan untuk menjadi pegawai baik pemerintah maupun swasta
Dilihat dari segi ideologis politis, generasi muda adalah mereka yang berusia 18 – 30 – 40 tahun, karena merupakan calon pengganti generasi terdahulu.
A. Pemuda Radikal
Pemuda radikal adalah Mereka yang berkeinginan besar untuk mengubah masyarakat dan kebudayaan lewat cara-cara radikal, revolusioner. Mereka tidak berniat mengadakan perubahan, baik budaya maupun pada masyarakat, tetapi hanya berusaha memperoleh manfaat dari masyarakat dengan melakukan tindakan menguntungkan bagi dirinya sendiri, sekalipun dalam kenyataannya merugikan.
Kedudukan pemuda dalam masyarakat adalah sebagai mahluk moral, mahluk sosial. Artinya beretika, bersusila, dijadikan sebagai barometer moral kehidupan bangsa dan pengoreksi. Sebagai mahluk sosial artinya pemuda tidak dapat berdiri sendiri, hidup bersama-sama, dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma, kepribadian, dan pandangan hidup yagn dianut masyarakat. Sebagai makhluk individual artinya tidak melakukan kebebasan sebebas-bebasnya, tetapi disertai ras tanggung jawab terhadap diri sendiri,terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan Yang maha Esa.
B. Pemuda Nakal
Pemuda dalam masyarakat adalah sebagai mahluk moral, mahluk sosial. Artinya beretika, bersusila, dijadikan sebagai barometer moral kehidupan bangsa dan pengoreksi.
Namun Sebagai mahluk sosial ada saja suatu kesalahan yang membuat pemuda terjerumus ke arah yang tidak baik sehingga pemuda di cap buruk oleh masyarakat. Sebagai makhluk individual pemuda tidak seharusnya melakukan tindakan sesuka hati namun harus berpikir panjang dan tahu apa konsekuensinya yang akan dihadapinya nanti.
Dengan proses sosialisasi,seorang pemuda menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Salah satu masalah yang paling banyak dikhawatirkan orang tua kalau anaknya homeschooling adalah persoalan sosialisasi. Kesannya, anak-anak
homeschooling itu nggak gaul, nggak punya teman, terpenjara di rumah
dan tak mampu berorganisasi, setelah mereka besar nanti.Terus terang,
masalah ini memang sudah lama jadi perhatian saya dan istri saya. Kami
memang berniat dua anak kami, Azkia (6 th) dan Luqman (4 th), nantinya
akan menempuh jalur homeschooling. Kami “memilih” (secara sengaja dan
sadar) mereka berdua, insyaAllah, nggak akan sekolah seperti biasa di sekolah formal. Paling tidak, sampai tingkat SMU.
Apakah pilihan ini tidak beresiko bagi kedua anak kami? Saya dan
istri sering mendiskusikan berbagai resiko paling jelek yang akan mereka
hadapi. Ya, soal profesi dan masa depan mereka nanti. Soal legalitas
dan ijazah. Soal nasib
mereka kalau ternyata kami nggak berhasil, dlsb. Termasuk juga tentu
saja soal sosialisasi dan dampak pergaulan mereka diantara
teman-temannya. Bisa jadi ‘kan mereka dipandang “rendah” karena kesannya
“mereka nggak sekolah”.
Tapi, ini jangan diartikan bahwa kami anti-sekolah. Kami sadar betul sekolah sangat penting. Namun kami juga sadar bahwa sekolah bukanlah satu-satunya jalan terbaik yang harus mereka tempuh. Diantara 4 orang anak saya, 2 diantaranya sekolah kok, yang satu (Nadya) sekarang kelas 2 SMP dan adiknya (Citra) kelas 5 SD. Keduanya bahkan termasuk unggul (10 besar) di kelas mereka. Citra selalu juara pertama sejak kelas 1 sampai sekarang, bahkan ia juga juara untuk berbagai perlombaan non-akademis (seni, olahraga, dan ketrampilan lainnya). Saya pribadi bercita-cita mereka sekolah sampai S3.
Lalu mengapa kami memilih homeschooling? Untuk Azkia (6 th), kami merasa ia lebih nyaman sekolah dengan cara homeschooling. Mungkin karena ia terbentuk sejak kecil sudah terbiasa belajar di rumah. Sejak usia 3 th, ia sudah senang belajar. Kesukaannya pada belajar membuat kami khawatir, ia tak akan “terlayani” oleh sistem sekolah.
Pengetahuannya tentang alam, matematika, bahasa, dan kemampuan logika nya berkembang “terlalu cepat” menurut saya. Bahkan “mengalahkan” kakak-kakaknya yang SD atau mungkin yang SMP. Ia melahap buku-buku berbahasa asing hampir setiap hari, belum lagi buku-buku ensiklopedia dan matematika sekolah. Ia belajar sendiri. Bahkan kami tak pernah menyuruh atau mendampinginya lagi. Ia telah jadi “mesin belajar” yang betul-betul mandiri.
Untuk Azkia, dengan keadaaanya begitu, bagaimana kami harus menyekolahkannya? Ketika kami tanya, apakah ia mau sekolah, dengan mantap dan yakin, ia menjawab “Tidak!” Apakah kami harus memaksanya? Apakah pilihannya itu salah?
Menurut kami, kecintaannya pada ilmu dan kesukaannya untuk belajar, merupakan harta yang paling berharga. Kami harus bisa menjaganya. Yang jadi masalah bagi kami hanyalah bagaimana agar kelak di kemudian hari, jika ia berminat untuk jadi ilmuwan misalnya, dan harus sekolah ke perguruan tinggi, ia bisa diterima. Setelah kami pelajari secara mendalam, tampaknya masalah ini sudah bisa kami atasi.
Masalah Sosialiasi
Dalam pandangan saya, kalau orang tua takut memilih homeschooling bagi anak-anaknya, hanya karena alasan sosialisasi itu terlalu berlebihan. Kemampuan ini selalu bisa dibangun dan dikembangkan bahkan by desain. Kecerdasan interpersonal anak memang harus selalu kita kembangkan. Akan tetapi bukan asal-asalan, atau membiarkannya begitu saja dengan asumsi “mereka bisa dan berkembang dengan sendirinya”. Tidak!
Anak-anak homeschooling biasanya juga punya komunitas terbatas. Setiap minggu atau setiap bulan mereka ngumpul “belajar bersama”. Dalam acara itu mereka bisa “belajar” secara khusus bagaimana bekerjasama, memimpin, berkomunikasi, bersikap sopan, santun dalam berbahasa, dlsb. By desain. Dan dengan sengaja.
Selain itu anak-anak juga bisa les atau ikut kursus-kursus keterampilan sesuai minat dan bakat mereka. Les musik misalnya, atau les belajar membaca atau les bahasa Inggris misalnya. Disana mereka juga akan melihat berbagai karakter orang lain dan jangan lupa ajarkan mereka bagaimana menghadapinya.
Sosialisasi sangat berdampak pada perkembangan anak-anak kita. Pengaruh yang paling terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul dengan teman-teman yang biasa berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi baik. Namun bersiaplah saat anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor dan kasar, mereka pun berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.
Karena itu, memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua masa kini. Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar, tetangga, kampung, dan bahkan sekolah pun tak dijamin bebas dari bahasa-bahasa negatif.
Saya kira, pendidikan interpersonal dan pengembangan sikap/attitude ini merupakan kewajiban utama orang tua. Yang penting, kita perlu terus mengetahui apa yang terjadi dan terus mendampingi anak-anak selama masa belajar mereka sampai usia baligh. Tidak hanya berlaku untuk anak-anak yang homeschooling. Bahkan juga anak-anak kita yang sekolah formal. Jangan percayakan soal ini 100% kepada sekolah. Ini tugas kita, orang tua!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
contoh artikel enkulturasi
Fenomena pekerja anak di bawah umur, saat ini menjadi permasalahan yang sulit diatasi, pekerja anak muncul bukan hanya di sebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga di sebabkan oleh faktor lingkungan dan teman sebaya Melihat dari latar belakang tersebut di atas, permasalahan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses enkulturasi keluarga pekerja anak di Kota Padang serta untuk mengetahui bagaimana keterlibatan anak di bawah umur sebagai pekerja anak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana proses enkulturasi keluarga pekerja anak di Kota Padang serta untuk mendeskripsikan keterlibatan anak di bawah umur sebagai pekerja anak. Penelitian ini mengunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data di lakukan dengan observasi (pengamatan), wawancara bebas mendalam dan di dukung oleh studi kepustakaan. Pemilihan informan di lakukan dengan (purposive) yang di dasarkan sejauh mana pengetahuan yang di miliki topik permasalahan yang di angkat. Informan di bagi 2 yaitu informan kunci dan informan biasa. Informan kunci yang di pilih adalah 10 keluarga pekerja anak,3 tokoh masyarakat, dan 2 orang pedagang yang memakai jasa pekerja anak. Informan biasa adalah 4 orang pekerja anak. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi proses enkulturasi dalam keluarga pekerja anak di Pasir Purus Atas Kelurahan Rimbo Kaluang. Enkulturasi adalah suatu proses dimana seorang individu menyerap cara berfikir, bertindak yang merasa mencerminkan kebudayaanya. Dalam proses enkulturasi ini nilai-nilai budaya di internalisasikan sehingga jadi bagian dari kepribadian individu yang bersangkutan, yaitu dari cara seseorang bertindak, sehingga setiap tindakan individu mencerminkan kepribadiannya juga memperlihatkan dari kebudayaan mana dia berasal. Dalam keluarga pekerja anak di Pasir Purus atas, anak-anak menjadi pekerja anak di sebabkan berbagai faktor di antaranya adalah faktor ekonomi, kurangnya perhatian orang tua terhadap anak, dan keluarga yang berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian pada anak. Nilai-nilai yang di tanamkan dalam keluarga mempengaruhi setiap tindakan seorang anak di dalam masyarakat. Selain keluarga, masyarakat di sekitar tempat tinggal pekerja anak juga sangat mempengaruhi keberadaan pekerja anak terutama teman-teman sebaya dan sepermainan. Karena lingkungan tempat tinggal mempengaruhi pola berfikir dan tingkah laku pekerja anak. Oleh karena bukan hanya karena faktor ekonomi saja yang menyebabkan munculnya pekerja tetapi juga karena faktor lingkungan dan teman sebaya. Di Lingkungan pekerja anak yang sangat buruk serta kurangnya perhatian orang tua terhadap perkembangan anak membuat anak memilih menjadi pekerja anak daripada bersekolah.
Tapi, ini jangan diartikan bahwa kami anti-sekolah. Kami sadar betul sekolah sangat penting. Namun kami juga sadar bahwa sekolah bukanlah satu-satunya jalan terbaik yang harus mereka tempuh. Diantara 4 orang anak saya, 2 diantaranya sekolah kok, yang satu (Nadya) sekarang kelas 2 SMP dan adiknya (Citra) kelas 5 SD. Keduanya bahkan termasuk unggul (10 besar) di kelas mereka. Citra selalu juara pertama sejak kelas 1 sampai sekarang, bahkan ia juga juara untuk berbagai perlombaan non-akademis (seni, olahraga, dan ketrampilan lainnya). Saya pribadi bercita-cita mereka sekolah sampai S3.
Lalu mengapa kami memilih homeschooling? Untuk Azkia (6 th), kami merasa ia lebih nyaman sekolah dengan cara homeschooling. Mungkin karena ia terbentuk sejak kecil sudah terbiasa belajar di rumah. Sejak usia 3 th, ia sudah senang belajar. Kesukaannya pada belajar membuat kami khawatir, ia tak akan “terlayani” oleh sistem sekolah.
Pengetahuannya tentang alam, matematika, bahasa, dan kemampuan logika nya berkembang “terlalu cepat” menurut saya. Bahkan “mengalahkan” kakak-kakaknya yang SD atau mungkin yang SMP. Ia melahap buku-buku berbahasa asing hampir setiap hari, belum lagi buku-buku ensiklopedia dan matematika sekolah. Ia belajar sendiri. Bahkan kami tak pernah menyuruh atau mendampinginya lagi. Ia telah jadi “mesin belajar” yang betul-betul mandiri.
Untuk Azkia, dengan keadaaanya begitu, bagaimana kami harus menyekolahkannya? Ketika kami tanya, apakah ia mau sekolah, dengan mantap dan yakin, ia menjawab “Tidak!” Apakah kami harus memaksanya? Apakah pilihannya itu salah?
Menurut kami, kecintaannya pada ilmu dan kesukaannya untuk belajar, merupakan harta yang paling berharga. Kami harus bisa menjaganya. Yang jadi masalah bagi kami hanyalah bagaimana agar kelak di kemudian hari, jika ia berminat untuk jadi ilmuwan misalnya, dan harus sekolah ke perguruan tinggi, ia bisa diterima. Setelah kami pelajari secara mendalam, tampaknya masalah ini sudah bisa kami atasi.
Masalah Sosialiasi
Dalam pandangan saya, kalau orang tua takut memilih homeschooling bagi anak-anaknya, hanya karena alasan sosialisasi itu terlalu berlebihan. Kemampuan ini selalu bisa dibangun dan dikembangkan bahkan by desain. Kecerdasan interpersonal anak memang harus selalu kita kembangkan. Akan tetapi bukan asal-asalan, atau membiarkannya begitu saja dengan asumsi “mereka bisa dan berkembang dengan sendirinya”. Tidak!
Anak-anak homeschooling biasanya juga punya komunitas terbatas. Setiap minggu atau setiap bulan mereka ngumpul “belajar bersama”. Dalam acara itu mereka bisa “belajar” secara khusus bagaimana bekerjasama, memimpin, berkomunikasi, bersikap sopan, santun dalam berbahasa, dlsb. By desain. Dan dengan sengaja.
Selain itu anak-anak juga bisa les atau ikut kursus-kursus keterampilan sesuai minat dan bakat mereka. Les musik misalnya, atau les belajar membaca atau les bahasa Inggris misalnya. Disana mereka juga akan melihat berbagai karakter orang lain dan jangan lupa ajarkan mereka bagaimana menghadapinya.
Sosialisasi sangat berdampak pada perkembangan anak-anak kita. Pengaruh yang paling terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul dengan teman-teman yang biasa berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi baik. Namun bersiaplah saat anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor dan kasar, mereka pun berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.
Karena itu, memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua masa kini. Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar, tetangga, kampung, dan bahkan sekolah pun tak dijamin bebas dari bahasa-bahasa negatif.
Saya kira, pendidikan interpersonal dan pengembangan sikap/attitude ini merupakan kewajiban utama orang tua. Yang penting, kita perlu terus mengetahui apa yang terjadi dan terus mendampingi anak-anak selama masa belajar mereka sampai usia baligh. Tidak hanya berlaku untuk anak-anak yang homeschooling. Bahkan juga anak-anak kita yang sekolah formal. Jangan percayakan soal ini 100% kepada sekolah. Ini tugas kita, orang tua!
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
contoh artikel enkulturasi
Keluarga Pekerja Anak di Kota Padang
Fenomena pekerja anak di bawah umur, saat ini menjadi permasalahan yang sulit diatasi, pekerja anak muncul bukan hanya di sebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga di sebabkan oleh faktor lingkungan dan teman sebaya Melihat dari latar belakang tersebut di atas, permasalahan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses enkulturasi keluarga pekerja anak di Kota Padang serta untuk mengetahui bagaimana keterlibatan anak di bawah umur sebagai pekerja anak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana proses enkulturasi keluarga pekerja anak di Kota Padang serta untuk mendeskripsikan keterlibatan anak di bawah umur sebagai pekerja anak. Penelitian ini mengunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data di lakukan dengan observasi (pengamatan), wawancara bebas mendalam dan di dukung oleh studi kepustakaan. Pemilihan informan di lakukan dengan (purposive) yang di dasarkan sejauh mana pengetahuan yang di miliki topik permasalahan yang di angkat. Informan di bagi 2 yaitu informan kunci dan informan biasa. Informan kunci yang di pilih adalah 10 keluarga pekerja anak,3 tokoh masyarakat, dan 2 orang pedagang yang memakai jasa pekerja anak. Informan biasa adalah 4 orang pekerja anak. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa telah terjadi proses enkulturasi dalam keluarga pekerja anak di Pasir Purus Atas Kelurahan Rimbo Kaluang. Enkulturasi adalah suatu proses dimana seorang individu menyerap cara berfikir, bertindak yang merasa mencerminkan kebudayaanya. Dalam proses enkulturasi ini nilai-nilai budaya di internalisasikan sehingga jadi bagian dari kepribadian individu yang bersangkutan, yaitu dari cara seseorang bertindak, sehingga setiap tindakan individu mencerminkan kepribadiannya juga memperlihatkan dari kebudayaan mana dia berasal. Dalam keluarga pekerja anak di Pasir Purus atas, anak-anak menjadi pekerja anak di sebabkan berbagai faktor di antaranya adalah faktor ekonomi, kurangnya perhatian orang tua terhadap anak, dan keluarga yang berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian pada anak. Nilai-nilai yang di tanamkan dalam keluarga mempengaruhi setiap tindakan seorang anak di dalam masyarakat. Selain keluarga, masyarakat di sekitar tempat tinggal pekerja anak juga sangat mempengaruhi keberadaan pekerja anak terutama teman-teman sebaya dan sepermainan. Karena lingkungan tempat tinggal mempengaruhi pola berfikir dan tingkah laku pekerja anak. Oleh karena bukan hanya karena faktor ekonomi saja yang menyebabkan munculnya pekerja tetapi juga karena faktor lingkungan dan teman sebaya. Di Lingkungan pekerja anak yang sangat buruk serta kurangnya perhatian orang tua terhadap perkembangan anak membuat anak memilih menjadi pekerja anak daripada bersekolah.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Permainan Tradisional Anak: Perspektif Antropologi Budaya
Masjid Raya Pekanbaru. Bangunan Masjid Raya Pekanbaru
Sebelum di Pugar. foto: Derichard H. Putra/01
|
MENGENANG permainan
rakyat yang biasa dimainkan saat masih kecil atau ketika masih di
kampung dulu mungkin merupakan kenangan yang mengesankan sekaligus lucu.
Walaupun, beberapa permainan yang pernah dimainkan tersebut sudah
sangat jarang—kalau tidak mau dikatakan tidak ada—yang bisa ditemukan
dan dimainkan oleh anak-anak saat ini. Kemajaun teknologi dan informasi,
yang menciptakan mainan-mainan modern—plastik, elektronik, dan games
online—telah mengubur masa-masa indah itu.
Membanjirnya produk-produk
‘asing’ tersebut menyebabkan berbagai macam reaksi dari masyarakat.
Menurut Ahimsa-Putra dalam artikel ini, secara umum setidaknya ada tiga
reaksi masyarakat dalam memandang dan menilai fenomena permainan anak.
Reaksi yang pertama adalah
masyarakat yang menilai positif dengan berbagai macam jenis permainan
tersebut. Reaksi ini mucul dari mereka yang beranggapan bahwa berbagai
macam jenis permainan baru pada anak-anak memberikan dampak positif
terhadap kehidupan anak-anak. Reaksi lainnya adalah masyararakat yang
menilai negatif. Walaupun menurut penulis yang betul-betul menilai
negatif bisa dikatakan tidak ada dan lebih tepat dikatakan kekhawatiran,
reaksi seperti ini lebih disebabkan oleh alasan ekonomis. Reaksi ketiga
adalah yang bersifat netral. Pada umumnya masyarakat Indonesia bersifat
seperti ini. Reaksi ini disebabkan karena adanya pandangan bahwa pada
dasarnya setiap orang sudah mampu menentukan pilihan yang paling baik
bagi diri dan keluarganya.
Dalam era globalisasi ini muncul
pula pertanyaan, relevankan apabila permainan rakyat digali kembali
dalam kaitannya dengan semakin dominannya permainan baru dalam kehidupan
anak? Sementara itu parmainan modern yang telah meransek jauh dalam
kehidupan bermain anak-anak, selain berakibat menjauhkan anak-anak dari
hubungan perkawanan yang personal ke impersonal. Juga menyebabkan
menipisnya orientasi wawasan anak komunalistik ke induvidualistik.
Sementara itu disadari pula sebagian ilmuan sosial dan humaniora tentang
adanya peran yang tidak kecil dari permainan rakyat dihadirkan dan
perkenalan kembali lewat penelitian-penilitian, dan kajian-kajian
ilmiah.
Berbagai permainan anak sebagai
gejala sosial-budaya telah lama menjadi perhatian ilmuwan sosial.
Menurut Ahimsa-Putra dalam tulisan ini, dari beberapa literatur asing
yang diamati, setidaknya ada empat perpektif yang pernah digunakan untuk
memahami dan menjelaskan fenomena permainan anak. Keempat perspektif
seperti: 1) perspektif fungsional: bermain sebagai “persiapan menjadi
orang dewasa”, 2) permainan: bermain (play) sebagai ‘permainan’ (game),
3) psikologi: ‘bermain’ sebagai wujud kecemasan dan kemarahan, dan 4)
adaptasi: ‘bermain’ sebagai peningkatan kemampuan beradaptasi.
Perspektif fungsional: Bermain
Sebagai “Persiapan Menjadi Orang Dewasa”. Perspekti ini, anak-anak
diasumsikan melakukan permainan-permainan yang menyerupai apa yang
dilakukan orang dewasa, dengan kata lain bisa disebut dengan “persiapan
menjadi orang dewasa”. Pandangan fungsional ini dikemukakan oleh
Bronislaw Malinowski, ahli antropologi pelopor teori fungsionalisme.
Berbagai permainan anak, misalnya: “pasaran”,
”dokter-dokteran”,”sekolah-sekolah” dan sebagainya, yang biasa disebut
“role play” (main peran), merupakan contoh dari permainan anak-anak yang
mempunyai fungsi mempersiapkan anak-anak untuk memainkan peran yang
sebenarnya ketika mereka dewasa nanti.
Jika dilihat dari sudut pandang
ini, kegiatan bermain merupakan kegiatan yang bersifat fungsional untuk
proses enkulturasi dan sosialisasi anak-anak. Enkulturasi dimaksudkan
sebagai proses penanaman nilai-nilai, atau proses menjadikan nilai-nilai
yang dianut suatu masyarakat diterima, dipahami, diyakini kebenarannya
dan kemudian dijadikan pembimbing perilaku atau bertindak oleh warga
suatu masyarakat, sedang sosialisasi adalah proses mengenalkan dan
membiasakan anak pada berbagai induvidu lain, berbagai kedudukan sosial
dan peran, berbagai kategori sosial, kelompok dan golongan, serta nilai,
norma, dan aturan yang berlaku dalam berinteraksi dengan induvidu dan
kelompok tersebut.
Perspektif Permainan: Bermain
(play) Sebagai ‘Permainan’ (game). Perspektif ini banyak dipergunakan
oleh ahli folkor di akhir abad 19. Hasil yang dicapai lebih banyak
bersifat deksripsif, yaitu mengambarkan jenis-jenis permainan yang ada
dengan berbagai macam peralatannya, sedang proses-proses sosial dari
permainan itu sendiri tidak dimuculkan. Mereka umumnya beranggapan bahwa
‘game’ (permainan) adalah wujud yang paling jelas dari ‘play’. Jadi
perhatian para ahli lebih diarahkan pada kegiatan bermain yang
terstuktur, seperti yang biasa dilihat dalam ‘permainan’.
Dari sudut pandang semacam ini
para ahli kemudian melakukan berbagai studi perbandingan untuk
mengetahui hubungannya dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan di masa
lampau. Dengan asumsi-asumsi yang sedikit-banyak etnosentris, atau
Eropasentris, para ahli sering kali memandang permainan ini sebagai
sisa-sisa dari kegiatan orang dewasa pada masyarakat-masyarakat primitif
di masa lampau.
Perspektif Psikologis: ‘bermain’
Sebagai Wujud Kecemasan dan Kemarahan. Perspektif ini memandang
kegiatan bermain anak-anak sebagai fenomena seperti tes proyektif
(projective test), yang dapat memperlihatkan kecerdasan-kecerdasan
mereka serta sifat-sifat galak mereka yang diduga bersumber pola-pola
pengasuh anak dalam suatu kebudayaan.
Perspektif ini digunakan oleh
Robert dan Sutton-Smith (1963). Dua ahli ini mengembangkan hipotesis
yang menjelaskan hubungan-hubungan antara jenis permainan, dengan
variable pola asuh anak dan variable budaya lainnya. Keterlibatan
induvidu dalam permainan ini pada akhirnya akan membuat dia mampu
mewujudkan perilaku-perilaku yang mempunyai nilai fungsional dan berguna
dalam kebudayaannya (Schwartzman, 1976: 296). Ahli lain yang melakukan
penelitian dalam jalur ini adalah R.R Eifermann, yang mencoba mengetahui
perbedaan antara sifat-sifat anak di desa dengan anak-anak di kota
dengan memperhatikan permainan permainan yang merkea mainkan.
Perspektif Adaptasi: ’Bermain’
Sebagai peningkatan Kemampuan Beradaptasi. Dalam perspektif ini,
beranggapan bahwa ‘bermain’ tidak hanya terbatas pada makhluk manusia,
tetapi juga berbagai jenis binatang lainnya. Asumsi dibalik pendekatan
semacam ini adalah bahwa aktivitas makhluk pada dasarnya mempunyai
fungsi tertentu, dan karena salah satu masalah penting yang menyangkut
keberlangsungan hidup suatu spesies adalah masalah adaptasi, maka
tentunya ‘bermain’ juga mempunyai fungsi dalam kerangka adaptasi makhluk
tersebut. Perspektif ini sebenarnya agak dekat dengan prespektif
fungsional, akan tetapi berbeda karena dalam prespektif adaptasi ini
fungsi bermain tidak hanya bersifat sosial dan cultural, akan tetapi
juga ragawi (physical).
Ada dua teori terpenting
berkenaan dengan adaptasi makhluk lewat ‘bermain’ ini, yaitu teori
‘arousal’ dan teori ‘educational’. Walaupun tampak saling berlawanan,
akan tetapi pada dasarnya kedua teori saling melengkapi. Teori arousal
menjelaskan fenomena bermain dalam kerangka jangka pendek, sedangkan
teori ‘pendidikan’ (educational) diberikan untuk memberikan pemahaman
yang bersifat jangka panjang. Dalam teori arousal dikatakan bahwa setiap
organisme pada dasarnya berusaha mempertahankan “an optimal level of
arousal”, dan ini berarti bahwa setiap makhluk pada dasarnya selalu
menginginkan perubahan-perubahan***
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Enkulturasi Dunia Barat
Sebuah kata yang tidak asing kita dengar yaitu ekulturasi, karena saat
ini kata enkulturasi sangat membuming di telinga kita. Enkulturasi
sendiri berasal dari istilah
“enkulturasi” adalah “pembudayaan”. Dimana seseorang individu
mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat,
system norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaan. Berasal dari
mana proses enkulturasi, adalah pertanyaan yang banyak di tanyakan,
bahwa enkulturasi atau institutional ization, bermula dari sejak kecil,
dari lingkungan. Seseorang
belajardengan meniru berbagai macam tindakan, dan setelah iru memotivasi
seseorang untuk menginternalisasi dalam kepribadian. Seseorang individu mempelajari
dengan cara mendengar dalam lingkungan. Menyinggung atau membicarakan
norma tadi. Suatu contoh, dari enkulturasi, seorang individu sedang
pergi ke luar negeri suatu contoh kita ambil, Amerika. Maka seseorang
itu akan menginternalisasi dalam kepribadiannnya adat dan bahkan
kebudayaan nya. Berbahaya jika enkulturasi sering di adaptasikan pada
tempat yang tidak sepantasnya di pakai, maka seorang individu akan
mendapat sanksi dan mungkin juga dapat diterima karena dianggap cultur
yang baik. Budaya korea, yang acap kali menjadi pedoman kita dengan cara
berpakaian nya, style baju sampe budaya kita berpedoman pada korea, dan inilah contoh nyata dari enkulturasi barat. Banyak lagi ekulturasi pada zaman sekarang yang
bias diterima karena baik dan ada yang tidak terima karena dianggap
tidak cocok atau berlawanan dengan kita. Jika sampai ekulturasi
berdampak pada individu yang menghabat proses sosialisasi dengan
lingkungan sekitarnya, maka akan menimbulkan konflik berupa deviants.
Para antropologi meneleti bahwa penyimpangan dari adat yang tidak lazim
merupakan faktor pentik kejadian tentang masyarakat dan kebudayaan
positif maupun negative. Kejidian
positif dapat menimbulkan (culture change) yaitu pembaruan pada istiadat
yang kuno. Misalnya jika negative, berbagai ketegangan masyarakat
berubah menjadi permusuhan bahkan hingga menjadi pembubuhan, pertikaian,
dan kerusakan. Hendak nya sebagai seseorang individu yang baik mari
kita menfilter mana enkulturai yang positif dan yang negative, agar kita
menjadi individu-individu yang bisa bersosial pada setiap zaman.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Budaya dan Pendidikan
Diskusi
tentang pengertian budaya atau kebudayaan terus mengalir di berbagai
forum sampai saat ini. Tentang pedefinisian kebudayaan di Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari tokoh antropologi Indonesia,
Koentjaraningrat. Sebagian ahli membedakan antara pengertian budaya
dengan kebudayaan. Budaya sering diartikan sebagai “konsep pemikiran”,
sementara kebudayaan mencakup semua aspek, konsep pemikiran dan
produknya. Koentjaraningrat tidak membedakan itu. Secara etimologis,
“Budaya berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya
atau power) dari sebuah budi, kata budaya digunakan sebagai singkatan
dari kebudayaan dengan arti yang sama” (Koentjaraningrat, 1980:81-82).
Dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, berasal dari bahasa latin colere
yang berarati mengolah atau megerjakan, dengan demikian culture
diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk
mengolah alam (Ibid: 182). Dalam kamus Bahasa Indonesia, juga tidak
terlihat dengan tegas perbedaan pengertian budaya dan kebudayaan.
“budaya diartikan sebagai buah atau hasil pikiran/akal budi”. Kebudayaan
diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan bathin (akal budi)
manusia , seperti kepercayaan, kesenian, dan atat istiadat
(Pusbinbangsa, 1983).
Dalam kajian lebih jauh, Irianto (1997: 56-57) , setidaknya ada dua aliran dalam pendefinisian kebudayaan, yaitu positivisme dan interpretivisme.
Perbedaan mendasar pada kedua aliran tersebut terletak pada paradigma
tentang hubungan manusia dengan alam sekitar. Aliran positivisme
memandang manusia sebagai bagian dari alam yang tunduk pada hukum-hukum
sosial, perilakunya dapat dipelajarai melalui pengamatan dan diatur oleh
sebab-sebab eksternal. Sebaliknya aliran interpretivisme
memandang manusia sebagai anggota-anggota masyarakat yang saling
membagikan suatu system social dan system makna. Manusia mendiuduki
posisi sentral, kenyataan dan relaitas social merupakan hasil ciptaan
manusia yang diatur melalui sistem makna. Koentjaraningrat dikelompokkan
ke dalam aliran positivisme yang mengartikan budaya atau kebudayaan
sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan mesayarakat yang dijadikan milik diri manusia
melalui proses belajar.
Sementara Parsudi Suparlan disebut sebagai wakil dari golongan intepretivisme
yang mendefenisikan budaya atau kebudayaan merupakan seperangkat
kemampuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk bio-sosial yang
digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan
pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan dalam mewujudkan
perilaku. Dalam pengertian ini kebudayaan merupakan “mekanisme kontrol”
bagi semua perilaku manusia. Dengan demikian kebudayaan merupakan
serangkaian aturan, petunjuk, resep, rencana, dan strategi, yang terdiri
atas serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh
manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya.
(Parsudi suparlan, dalam Soerjani,M 1983 : 72).
Berdasarkan
berbagai pendapat tersebut, batasan antara pengertian budaya dengan
kebudayaan tidak terlihat dengan tegas. Terlepas dari perdebatan itu,
dalam tulisan ini pengertian budaya lebih kepada sistem nilai dan norma
yang mendasari perilaku manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Daoed
Joesoef (1982), “budaya merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati
oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu
kurun tertentu”. Sementara kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang
terkit dengan budaya. Dalam konteksi tinjauan budaya dilihat dari tiga
aspek, yaitu pertama, budaya yang universal yaitu berkaitan niliai-nilai
universal yang berlaku di mana saja yang berkembang sejalan dengan
perkembangan kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi. Kedua,
budaya nasional, yaitu nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia secara nasional. Ketiga, budaya local yang eksis dalam
kehidupan masayarakat setempat. Ketiga aspek ini terkait erat dengan
sistem pendidikan sebagai wahana dan proses pewarisan budaya.
Sebagai
unsur vital dalam kehidupan manusia yang beradab, kebudayaan mengambil
unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap
betul-betul vital dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua
yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai modal dasar
untuk dapat berdaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup (survive).
Dalam kaitan ini kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang
diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga
terhayati dalam setiap perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide
yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu
yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh melalui proses
belajar. Proses belajar merupakan cara untuk mewariskan nilai-nilai
tersebut dari generasi ke generasi. Proses pewarisan tersebut dikenal
dengan proses sosialisasi atau enkulturasi (proses pembudayaan).
Sekolah
atau pendidikan formal adalah salah satu saluran atau media dari
proses pembudayaan Media lainnya adalah keluarga dan institusi lainnya
yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah pendidikan disebut sebagai proses untuk “memanusiakan manusia”
tepatnya “memanusiakan manusia muda” (meminjam istilah Dick Hartoko).
Sejalan dengan itu, kalangan antropolog dan ilmuwan sosial lainnya
melihat bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan dan
mensosialisasikan manusia sebagaimana yang kita kenal dengan proses
enkulturasi (pembudayaan) dan sosialisasi (proses membentuk kepribadian
dan perilaku seorang anak menjadi anggota masyarakat sehingga anak
tersebut diakui keberadaanya oleh masyarakat yang bersangkutan). Dalam
pengertian ini, pendidikan bertujuan membentuk agar manusia dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk yang berbudaya
yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya dan menyesuaikan diri
dengan lingkungan dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup, baik
secara pribadi, kelompok, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Daoed
Joesoef memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan karena
pendidikan adalah upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal
hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini
adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan adalah
kelseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita
lakukansebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus
dilakukan oleh setiap orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai
maklhuk bio-sosial.
Pendidikan
adalah upaya menanamkan sikap dan keterampilan pada anggota masyarakat
agar mereka kelak mampu memainkan peranan sesuai dengan kedudukan dan
peran sosial masing-masing dalam masyarakat. Secara tidak langsung, pola
ini menjadi proses melestarikan suatu kebudayaan. Sejalan dengan ini,
Bertrand Russel mengatakan pendidikan sebagai tatanan sosial kehidupan
bermasyarakat yang berbudaya. Melalui pendidikan kita bisa membentuk
suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang maju, modern, tentram dan
damai berdasarkan nilai-nilai dan norma budaya. Ibnu Khaldun
mempertegas lagi bahwa pendidikan dan pengajaran sebagai salah satu
gejala sosial yang memberi ciri masyarakatnya-masyarakat maju.
Lebih
jauh, Ibnu khaldun membagi ilmu dan pengajaran ke dalam berbagai
kategori, yaitu (1) ilmu Naqli yang bersumber pada Kitab Alqur’an dan
Sunnah, (2) ilmu Aqli (ilmu yang berhubungan dengan otak) terdiri dari
ilmu fisika (ilmu tentang benda), ilmu ilahiyat (ketuhanan atau
metafisika), ilmu matematika, ilmu musik “ pengetahuan tentang asal-usul
ritme, ilmu hay’ah (astronomi), (3) ilmu logika yaitu ilmu yang
memilihara otak dari kesalahan. Sejalan dengan ini, konsep agama tentang
pendidikan pada hakekatnya upaya untuk hijrah dari sifat-sifat negatif
seperti kebodohan, iri, dengki, sombong, congkak, boros, tidak efisien,
emosional, dsb. Ke sifat-sifat yang positif seperti cerdas, tenggang
rasa, teliti, efisien, berpikiran maju dan bertindak atas dua dasar
aturan yaitu hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan Allah.
Semua
sifat positif yang diharapkan tersebut diwujudkan dalam bentuk perilaku
yang religius, cekatan, terampil, dapat membedakan yang baik dan yang
buruk, yang salah dan benar, menghargai semua hal yang menjadi bahagian
kehidupan di alam ini termasuk segala bentuk perbedaan di antara kita
sesama manusia. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat
pada saat yang tepat, serta mampu mengembangkan potensi diri dalam upaya
meningkatkan kualitas pribadi, keluarga, kelompok, agama, bangsa dan
negara. Semua ini merupakan unsur pokok dalam proses pembentukan
masyarakat yang sejahtera, survive, adil, makmur, dan penuh kedamaian.
Untuk
mewujudkan hal tersebut, para penyelenggara pendidikan harus yakin
bahwa program dan proses pembelajaran dapat menggiring siswa agar mampu
menggunakan segala apa yang telah dimilikinya –yang diperoleh selama
proses belajar– sehingga bermanfaat dalam kehidupan selanjutnya, baik
kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Perlu juga
ditekankan di sini bahwa dalam dunia kehidupan nyata, antara kehidupan
akademis dan non akademis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Untuk itu seharusnya, program dan proses pembelajaran tidak membuat dikotomi
(memisahkan secara tegas) di antara keduanya. Semua ini menunjukkan
bahwa pendidikan adalah upaya membangun budaya suatu masyarakat sehingga
tercipta kehidupan yang modern, maju, dan harmoni yang didasari oleh
nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masyarakat.
IV. Proses Pembudayaan melalui PendidikanFormal
Proses pembudayaan (enkulturasi)
adalah upaya membentuk perilaku dan sikap seseorang yang didasari oleh
ilmu pengetathuan, keterampilan sehingga setiap individu dapat memainkan
perannya masing-masing. Dengan demikian, ukuran keberhasilan
pembelajaran dalam konsep enkulturasi adalah perubahan perilaku siswa.
Hal ini sejalan dengan 4 (empat) pilar pendidikan yang dikemukakan oleh
Unesco, Belajar bukan hanya untuk tahu (to know), tetapi juga menggiring siswa untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata (to do), belajar untuk membangun jati diri (to be), dan membentuk sikap hidup dalam kebersamaan yang harmoni (to live together). Untuk itu, pembelajaran berlangsung secara konstruktivis (developmental)
yang didasari oleh pemikiran bahwa setiap individu peserta didik
merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri. Tugas
pendidikan adalah memotivasi agar setiap anak mengenali potensinya
sedini mungkin dan menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang
dimiliki serta mengarahkan pada persiapan menghadapi tantangan ke
depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan karakter, performa yang
konkrit (observable) dan terukur (measurable) yang
berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan
afektif. Pengembangan kemampuan pada ketiga ranah tersebut dilihat
sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi.
Untuk
menjamin kekonsistenan antara tujuan pendidikan dengan pembentukan
manusia yang berbudaya (enkulturasi), perlu dirancang desain
pembelajaran di sekolah yang tidak terlepas dari kondisi kehidupan
nyata. Antara dunia pendidikan dan dunia nyata terkait dengan hubungan
sinergis. Dengan demikian, antara nilai-nilai yang ditanamkan dengan
pengetahuan akademis terikat dengan hubungan yang kontinum. Tidak
satupun dari komponen ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai dan
norma budaya. Proses pembelajaran yang demikian dapat digambarkan
melalui diagram berikut ini:
Keterangan diagram:
Kecakapan
hidup merupakan tujuan dari seluruh mata pelajaran yang mencakup ketiga
ranah kemampaun yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Pendidikan
kecakapan hidup memiliki tiga dimensi tujuan yaitu;
Dimensi
pertama, adalah penguasaan dan kepemilikan konsep-konsep dasar keilmuan
dengan prinsip-prinsip utamanya. Konsep dasar tersebut dibangun
berdasarkan materi esensial yang merupakan bagian integral dari keilmuan
(body of knowledge). Konsep dasar ini umumnya bersifat general sehingga dapat digunakan atau terkait dengan disiplin ilmu yang lain (transferable). Konsep dasar ini harus dukuasai sebagai pondasi untuk menuju ke kecakapan hidup yang diinginkan.
Dimensi
kedua adalah penguasaan atau kepemilikan kecakapan proses atau metode.
Kecakapan ini merupakan kecakapan generic yang dipersyaratakan bagi
setiap siswa untuk semua jenjang pendidikan yang mmeungkinkan setiap
siswa memiliki kemampuan beradaptasi (adaptability) dan kecakapan menanggulangi (cope ability) serta kecakapan untuk mempelajari (learning to learn).
Dengan dimensi ini siswa dibiasakan dan dimotivasi unuk menggunakan
pengetahuannya dalam praktek kehidupan di dunia nyata yang didasari oleh
kaidah-kaidah pengembangan (proses) keilmuan. Kedua dimensi ini tidak
diperoleh secara terpisah, ataupun secara berurutan, melainkan diperoleh
secara simultan. Karena konsep-konsep dasar (dimensi pertama) tidak
akan dapat diperoleh siswa jika dengan hanya menghafal tanpa ada upaya
melakukan inquiry melalui dimensi kedua.
Dimensi
ketiga adalah kecakapan penerapan konsep dan proses dalam kehidupan
sehari-hari sehingga pembelajaran berlangsung dengan berwawasan
lingkungan (kontekstual). Dengan demikian, siswa akan terbiasa dengan
perilaku yang didasari oleh berbagai kecakapan yang diperoleh melalui
belajar. Artinya tidak ada jarak antara pengetahuan yang dimiliki dengan
perilaku sehari-hari. Proses ini akan membangun perilaku dan sikap
manusia sebagai cerminan dari sikap dan perilaku makhluk yang berbudaya.
Terkait
dengan proses pewarisan budaya, ketiga aspek budaya (universal,
nasional, dan lokal), sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan, di
desain dalam suatu kurikulum dengan memberikan prosi yang seimbang di
antara ketiga aspek tersebut. Keseimbangan yang dimaksud adalah, nilai
budaya universal dalam kurikulum dirancang mengacu pada perkembangan
IPTEK, sementara kurikulum nasional mengacu pada nilai-nilai nasional
yang terwujud sebagai aplikasi IPTEK dan kehididupan berbangsa dan
bernegara(wawasan kebangsaan dan nusantara). Budaya lokal menjadi isi
dan wahana pembelajaran melalui pemanfaatan lingkungan (sisial, alam,
dan budaya) sebagai sumber belajar. Ketiga aspek tersebut diususun
secara sinergis sehingga muatan ketiga aspek tersebut tidak berpengaruh
pada beban belajar siswa.
VI. Penutup
Sebagai
kesimpulan dapat ditegaskan lagi bahwa pendidikan formal adalah salah
satu media proses pembudayaan (enkulturasi). Manusia yang berbudaya
adalah manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap
sehingga mereka mampu berpikir secara rasional, kritis, dan memiliki
karakter serta kepribadian yang cina pada keharmonian kehidupan. Dengan
demikian, peranan pendidikan formal dalam proses pembudayaan dapat
diukur dari sejumlah persoalan berikut:
· Seberapa jauh pendidikan dapat mengembangkan perilaku budaya setiap individu siswa?
· Bisakah pendidikan menjaga kesinambungan kehidupan individu dan masyarakat?
· Bisakah
sekolah mendidik siswa menjadi manusia pembelajar sehingga tumbuh
menjadi makhluk yang berbudaya yang memiliki cara berfikir kebiasanan
belajar, dan terus belajar (relearn)?
· Bisakah
sekolah mendidik siswa tentang bagimana cara manusia untuk mengetahui
dan memahami, berdapatsi, menginterpretasi dan memanfaatkan sesuatu
dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup?
· Bisakah
sekolah mendidik siswa tentang bagaimana berkomunikasi antar sesama
baik secara verbal, non verbal, simbol, grafis untuk menciptakan
kedamaian dan keharmonisan dalam masyarakat yang multi kultur?
· Bisakah
sekolah mendidik bagaimana menjadi konsumen sekaligus produsen yang
bermoral, berbudaya sehingga kelestarian potensi alam dapat
dipertahankan?
· Bisakah
sekolah mendidik siswa untuk menjaga diri dari kerusakan mental, dan
perilaku dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai dan norma budaya?
· Bisakah
sekolah mendidik siswa untuk saling percaya, menghargai, empati,
simpati, serta bagiamana menumbuhkan kesenangan terhadap perbedaan gaya
hidup di antara sesama mereka dan orang lain?
· Bisakah sekolah mendidik siswa tentang bagiamana cara berpartisipasi, komit, kooperatif, dan emphati dalam berbagai hal?
Teken in op:
Plasings (Atom)